PEMBAHASAN KONSEP ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
A.
Pengertian Ilmu
Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm
yang bermakna pengetahuan merupakan derivasi dari kata kerja ‘alima yang
bermakna mengetahui. Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim
yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu ma’rifah
(pengetahuan), syu’ur (kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm
dan fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘aql (intelektual), dirayah
dan riwayah ( perkenalan, pengetahuan dan narasi ), hikmah (kearifan),
‘alamah (lambang), tanda atau indikasi yang dengan sesuatu atau
seseorang dikenal. Dalam menjelaskan ilmu secara termilogi, Al-Attas
menggunakan 2 definisi, pertama ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah
SWT., bisa dikatakan bahwa ilmu datangnya (husul) makna sesuatu atau
objek ilmu kedalam jiwa pencari ilmu, dan kedua sebagai sesuatu yang diterima
oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu dapat diartikan sebagai datangnya jiwa (wusul)
pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Hal ini
berimplikasi bahwa ilmu mencakup semua hal. Selanjutnya Al-Attas menjelaskan
bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang satu pihak memerlukan mental
yang aktif dan mental spiritual di pihak mencari ilmu, dan di pihak lain
keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga
disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual.
Al-Attas membagi ilmu dalam 2 bagian, yang pertama iluminasi, yaitu ilmu
(ma’rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa melayu, yang pertama disebut dengan
ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan. Dalam
pembahasan ini ilmu pengetahuan ilmu jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu
fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh
setiap umat Islam. Sedangkan kategori kedua berkaitan dengan objek-objek yang
berhubungan dengannya, yang bisa dicapai dengan penggunaan daya intelektual dan
jasmani.
Dari
pembagian diatas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hamya meliputi
ilmu-ilmu aqidah dan syari’ah saja.Selain kedua ilmu tersebut kita masih
berkewajiban menuntut ilmu yang lainnya.
A. Objek Ilmu
Dalam islam
terdapat 2 alam yang disebutkan dalam Al-Quran, yaitu alam non fisik (‘alam
al-ghayb) dan alam fisik (‘alam syahadah) atau yang tampak. Dalam
menjelaskan objek ilmu pengetahuan, para filsuf Muslim memberikan penjelasan
mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama
ini para filsuf Barat hanya mengakui keberadaan objek yang memiliki status
ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik. Berbeda dengan para
filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya
terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non fisik, seperti
konsep-konsep mental dan metafisika. Meskipun Al-Qur’an menyebutkan perbedaan
antara alam fisik dan non fisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya.
Karena
tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam metafisik.
Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang
alam metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara
langsung, namun harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya
akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa
terlepas dari wahyu sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-‘Alaq ayat 96 : “Bahwa Dia (Allah SWT) mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya”
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata
berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia saja.
Namun, ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu
dalam Islam tidak hanya bisa diverifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan
melalui eksperimen atau logika semata. Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang
dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para
ahli filsafat, pakar dan orang bijaksana, khususnya para ahli sufi dapat
diterima seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazim, Imam Al-Ghozali dan
Al-Suyuti. Al-Attas juga mengakui kebenaran klasifikasi ilmu yang mereka berikan.
Pada
hakikatnya terdapat kesatuan di balik hierarki semua ilmu pengetahuan dalam
kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim. Ilmu dapat dikategorikan
berdasarkan keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang ditempuh mereka untuk
memperolehnya dan pengkategorian tertentu itu melambangkan usaha manusia untuk
melakukan keadilan terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.
B. Sumber Ilmu Menurut Islam
Islam mengajarkan bahwa Allah SWT merupakan sumber
dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaan Nya meliputi bumi dan langit, yang
nyata maupun yang ghaib dan tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengawasan
Nya.
إنما إلهكم الله الذي لا إله إلا هو و سع كل شيء علما
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah
Allah yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Ilmu Nya meliputi
segala sesuatu ” ( Thaha : 98 )
Sumber
ilmu yang primer dalam epistimologi Islam adalah wahyu yang diterima oleh Nabi
yang berasal dari Allah SWT sebagai sumber dari segala sesuatu. Al Wahyu
atau wahyu merupakan masdhar yang memberikan dua pengertian dasar, yaitu
tersembunyi dan cepat. Pengertian wahyu secara epistimologi meliputi ilham
sebagai bawaan dasar manusia, ilham berupa naluri pada binatang, isyarat yang
cepat menurut rumus dan kode, serta apa yang disampaikan Allah kepada para
malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Namun, makna wahyu sebagai istilah adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang
Nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al muha
yang berarti ‘yang diwahyukan’.
Oleh
karena itu, penjelasan tentang sumber ilmu dalam epistimologi Islam ditekankan
kepada : Pertama kalam Allah berupa kitab suci Al-Qur’an. Kedua, Nabi atau Rasulullah
sebagai penerima wahyu ,dalam hal ini merujuk kepada hadits, yaitu segala
sesuatu yang bersumber dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hokum atau ketentuan Allah yang disyariatkan Allah
untuk manusia.
D. Sumber
Ilmu Menurut Barat
Sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga madzhab
utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Madzhab Rasionalisme
dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza,
dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani.
Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia.
Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate
ideas) yang dinamakan substansi yang
sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas pemikiran, Tuhan, dan keluasan
(ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah
derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu
adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini,
menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam
jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu
yang dihasilkan oleh aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan
satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya
sekumpulan konsepsi dalam akal.
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya
pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh
Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan
pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David
Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David
Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik
dengan rasionalisme, mazhab ini berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran
manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi.
Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions)
dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi,
secara langsung, sifatnya kuat dan hidup.
Yang kemudian adalah
persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang
diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal
ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka
justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak
generalisasi.
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi
dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia
juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena
keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput di dalam gerak
itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses
tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki
eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang
ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk
mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh
utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant
berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas
pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan
Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja
dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal
dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian
pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia
sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada
penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber
ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca
indera. Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya,
makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang
dari wahyu mereka nafikan, dan tidak memasukkannya ke dalam defenisi ilmu.
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai nilai etika moral, yang diatur oleh rasio
manusia, terus menerus berubah.
E. Ilmu Dalam Prespektif
Islam
Pembahasan tentang filsafat ilmu dalam Islam akan bermanfaat jika
pemahaman tentang kedudukan, tujuan dan sifat ilmu dalam Islam itu diterima.
Filsafat ilmu Barat yan sekular yang bertumpu pada akal semata dan menolak
“wahyu” sebagai sumber ilmu telah membawa bencana besar bagi umat manusia.
Filsafat ilmu sekular inilah yang memicu kekacauan besar dalam dunia keilmuan
dan kamanusiaan saai ini.
Ilmu pengetahuan yang disebarkan barat itu menurut Al-Attas, pada
hakikatnya telah menjadi problematika karena kehilangan tujuan yang benar, dan
lebih menimbulkan kekacauan dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa
perdamaian dan keadilan. Pengetahuan yang seolah olah benar, padahal
memproduksi kekacauan dan skeptisisme.
Bahkan pengetahuan yang untuk pertama kali dalam sejarah telah
membawa kekacauan dalam ”The three kingdom of nature” yaitu dunia binatang,
tumbuhan dan mineral. Menurut Al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari
agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai nilai
relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.
Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan
manusia sebagai satu satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya
dituhankan dan Tuhan dimanusiakan. Umat
islam sejak awal mengakui dua jenis keilmuan sekaligus, ilmu agama dan ilmu
alam. Kedua jenis ilmu itu dikategorikan sebagai pengetahuan yang ilmiah, dan
dikembangkan melalui metode yang ilmiah pula. Hal ini tentu berbeda dengan yang
terjadi di Barat. Dimana pengetahuandibagi kedalamdua istilah teknis, yaitu
sience dan knowledge.
Istilah yang pertama
diperuntukkan bagi bidang bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah
kedua diperuntukkan bagi bidang bidang ilmu non fisik seperti konsep mental dan
metafisika. Istilah yang pertama diterjamahakan dalam bahasa Indonesia dengan
Ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan
saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang
bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama, tidak bisa
dikategorikan ilmi (ilmiah).
World view Islam yang berorientasi pada kehidupan akhirat
melahirkan ilmu ilmu yang menyatu dengan amal. Inilah salah satu keistimewaan
konsep ilmu dalam islam. Dalam konsepsi Islam, orang pintar yang jahat tidak
dihargai sebagai manusia yang baik, bahkan bisa dijauhi masyarakat, jika dia
sampai derajat fasik. Dalam buku budaya Ilmu Prof Wan Mohd Nor
menjelaskan karakteristik perbedaan antara budaya ilmu dalam islam dengan
budaya ilmu di Barat.
Dampak keilmuan Islam yang menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu
adalah munculnya tradisi ilmuyang tidak memisahkan antara aspek ilmu dan
akhlak. Seorang yang berilmu menurut Islam wajib mengamalkan ilmunya.
Dunia keilmuan Islam dikenal menjujung tinggi akhlak dan moralitas
seseorang yang didapati bermoral jahat tidak dipercaya lagi periwayatannya. Ini
tentu sangat berbeda dengan konsep keilmuan Barat. Paul Johnson, dalam bukunya
“Intellectuals”memaparkan kebejatan moral sejumlah ilmuwan besar yang menjadi
rujukan keilmuan di Barat dan dunia Internasioan saat ini, dicatatnya “Manusia
gila yang manarik” yaitu pada tahun 1728 saat berumur 15 tahun, dia bertukar
agama menjadi katolik. Ernest Hemingway seorang ilmuwan jenius tidak memiliki
agama yang jelas, selama hidupnya dia hanya sembahyang selama dua kali ketika
perkawinan dan pembatisan anaknya untuk menyenangkan hati istrinya, dia
menanggap ”Organized religion” sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia.
Ilmuwan Barat sekuler yang membawa pengaruh luas dalam dunai ilmu
pengetahuan adalah Charles Robert Darwin. Ia menulis sebuah buku yang berjudul The
Origin of Species dimana dinyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan.
F. Ilmu Dalam Prespektif Barat
Filsafat pada zaman pre-Socratic tidak memberikan perhatian
yang fundamental kepada cabang filsafat epistemologi, namun lebih tertarik pada
filsafat alam dan kemungkinan perubahanya. Mereka menerima begitu saja bahwa
pengetahuan tentang alam adalah mungkin, meskipun beberapa dari mereka
menyarankan bahwa pengetahuan dari struktur realitas (structure of reality)
diperoleh dari beberapa sumber dapat lebih baik dari sumber yang lainnya. Namun
beberapa ahli berbeda pendapat dengan mereka yang menyatakan bahwa epistimologi
dimulai dari keraguan kaum Sofis terhadap ilmu pengetahuan.
Menurut mereka, Plato adalah filsuf Yunani yang bisa dikatakan
menjadi pencetus nyata epistimologi, karena berusaha untuk berurusan dengan
pernyataan-pernyataan dasar seperti. Plato beranggapan bahwa pengetahuan
merupakan kondisi kognisi yang paling tinggi dan lebih dari kepercayaan yang
benar. Menurutnya, pengetahuan lebih berharga walaupun pengetahuan susah untuk
dicapai dan manusia kurang akan pengetahuan, pengetahuan tetap dapat dicapai
karena kita semua harus dan cenderung untuk bergantung kepada kepercayaan
kepercayaan yang benar. Sehingga
menurut plato, yangdisebut sebagai pengetahuan adalah kumpulan ingatan atau
engenalan ide abadi yang terpendam dalam benak manusia.
Aristoteles merupakan murid dari Plato, ia hanya bersebrangan
dengan ajaran gurunya mengenai perpisahan absolut antara ide dan gambaranya,
antara pengertian dan pemandangan, antara “ada” dan “menjadi”. Idea dalam
pemahaman Plato terlalu abstrak, sedangkan Aristoteles mengganggap idea atau
eidos sebagai sesuatu yang lebih konkret.
oleh sebab itu, logika yang utama menurut Aristoteles adalah mengakui hubungan
yang tepat antara yang umum dan yang khusus. Ilmu harus mampu menerangkan
bagaimana datangnya hal hal yang khusus dan kelihatan itu dari yang umum dan
diketahui melalui pemikiran.
Ilmu Barat modern todak dibangun diatas wahyu dan kepercayaan
agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi
filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia makhluk
rasional.
Sekularisasi ilmu ini dimulai ketika seorang filsuf Barst, Rene Descartes
yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo
sum). Dengan prinsip ini descartes telah menjadikan satu satu menjawab
keraguan ilmu mnya kriteria untuk mengukurkebeneran. Penekanan terhadap rasio
dan pancaindrsebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filsuf lain seperti
Thomas Habes .
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh, Kant
menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuanyang dimunculkan oleh David Hume
yang skeptik. Menurut Kabt, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah
tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancaindera. dalam pandangannya
Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan pernyataan sintetik a
priori seperti yang ada di dalam matemtaika, fisika dan ilmu ilmu yang berdasar
kepada fakta empiris. Kant menanamkan metafisika sebagai ilusi transendent.
Epistimologi Barat modern-sekuler semakin bergulir dengan munculnya
filsafat dialektika Hegel yang terpengaruh oleh Kant, Bagi Hegel, pengetahuan
adalah ongoing process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus
berkembang, tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap
baru. Bukan berarti tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu,
dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas.
Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas dan dengan
demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan tetap
dipertahankan.
Epistimologi barat modern-sekuler juga melahirkan paham ateisme.
Akibatnya, paham ateisme menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin
keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen sains, sosiologi, psikologi,
politik, ekonomi, dan lain lain.
Selain melahirkan ateisme, epistimologi Barat modern-sekuler telah
menyebabkan teologi Kristen menjadi sekuler. Pandangan hidup kristiani telah
mengalami pergeseran paradigma. Selain itu, jika pada zaman pertengahan agama
kristen adalah agama sentral dalam peradaban barat, maka agama tersebut berubah
menjadi pinggiran pada zaman modern.
Ilmu yang berkembang didunia barat saat ini berdasarkan pada rasio
dan pancaindera, jauh dari wahyu dan tuntunan ilahi. Meskipun telah
menghasilkan teknologi yang bermanfaat bagi manusia. Ilmu Barat modern telah
pula melahirkan bencana, baik kepada kemanusiaan, alam maupun etika. Akibat
paham materialisme maka terjadi penjajahan dan kolonalisasi. Peradaban Barat
sebagaimana ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar,
tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis. Peradaban ini penuh kontradiksi.
Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang membuat berbagai kemudahan fasilitas hidup. Akan tetapi, pada
sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi yang tidak kecil kepada
penghancuran alam semesta.
Karakteristik sains menurut mereka adalah bahwa ia harus didapat
melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hypotetico-verificative.
Metode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan
sesuatu sesuai dengan aturan berfikir yang logis dan masuk akal. Dan bukan
melalui aturan kepercayaan dan keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan
berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis. Dari hepotesis
itulah kemudian ilmu pengetahauan harus dapat membuktikannya secara empiris.
Dengan demikian, menurut Ilmuwan Barat empirisme dalam sains
semakin mengarah pada ide netralitas sains. Teori dan methode ilmiah dibangun
dengan suatu pandangan bahwa sains itu empiris, objektif dan logis sehingga
dengan begitu bersifat netral. Ilmu yang didalam peradaban barat sekuler
diklaim sebagai bebas nilai, sebenarnya tidak benar benar bebas nilai, tetapi
hanya bebas dari nilai nilai keagamaan dan ketuhanan. Paham keilmuan
sekularistik inilah sebenarnya yang sedang melanda pemikiran muslim saat ibni.
Paham ini, sudah tentu dapat menghambat dan menyelewengkan pembangunan
peradaban Islam.
Peradaban Barat muncul didukung oleh ilmu pengetahuan yang
berlandaskan pada aspek rasio semata. Bermulai dari seorang filsuf Barat
bernama Rene Descartes yang bergelar Bapak Filsafat Modern mengemukakakan
sebuah pameo yang terkenal sampai saat ini yaitu “Aku berfikir maka aku ada”.
Mereka menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.
Dalam pandangan Islam, ilmu, itu tidak bebas nilai. Sedangkan sains
Barat atau sains modern yang saat ini berkembang didunia Barat maupun didunia
Islam menyatakan bahwa sains itu netral
atau bebas nilai. Pada kenyataannya ilmu tidak bisa bebas nilai karena
ilmu dari waktu ke waktu mengalami naturalisasi.
G. Metode Memperoleh Ilmu Dalam Islam
Amin Abdulllah
(1992:7) dalam mencarai epistimologi Islam lebih melihat adanya kecenderungan
para pemikir yang idealis dan rasionalis, sebagaimana yang ia kaji dalam
pemikiran As-Sardar dan Ghulsyani. Berpadunya kajian metafiska dan episimologi
dalam Islam yang ideal holistik kelemahanya menurut Amin kurang tajam dalam
melakukan kajian dalam segi-segi khusus, karena dominasi kalam dan sufisme
terlalu kuat sehingga epistimologi tidak bisa berkembang secara alami.
Platonisme yang rasionalistik-ormatif seperti yang nampak dalam dominasi kalam
dan sufisme, daripada empirisme-historis Aristoteles.
Namun disini Islam tidak berkabung hanya pada rasionalisme dan
empirisme, tapi juga mengakui instuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas
kebenaran langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, khasaf yang tanpa deduksi,
spekulasi dan obserfasi. Pengetahuan ini salam mistisisme Islam disebut dengan ilm
al-dhurury atau ‘ilm al-Laduny yang kedudukanya sedikit di bawah
wahyu. Sedangkan rasionalistik adalah pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran
secara rasio atau akal. Sedangkan empirisme dalah pengetahuan yang bersumber
dari penelitian tehadap objek (fakta). Wahyu adalah pengetahuan yang diberikan
kepada seluruh manusia yang disampaikan melalui Nabi, pengetahuan wahyu ini
dapat diperoleh dengan menggunakan keimanan, seperti halnya penggetahuan
mengenai adannya malaikat, surga, neraka, hisab kubur dl. Pengetauan ini hanya
mustahil akan diperoleh tanpa adanya keimanan.
H. Metode Memperoleh Ilmu
Menurut Ilmuwan Barat.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok epistimologi, yaitu
rasionalisme dan empirisme, yang pada
giliranya kemudian muncul beberapa isme lain, mislnya: rasinalisme kritis
(kritisisme), (fenomenelisme), intuisionisme, positifismemdan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran
akal atau ide, sementara peran indra dinomerduakan. Pemikiran para filsuf pada
dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indra.dari rasio kemudian melahirkan
rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme atau spiritualisme;
dan dari indra lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar dan ontologik
rasionalisme.
Selain metode rasionalisme adalah metode empirisme yang bersifat
korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman,
sehingga mudah dibuktikan dan di uji. Kebenaran didapat dari pengalaman melalui
proses induktif, dari suatu benda ditarik kesimpulan. Menuru Locke pengalaman
ada dua macam: pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah yang kedudukannya
saling menjalin. Empirisme Locke dikembangkan oleh Comte, orang filsuf
berkebangsaan Perancis dengan teori positifismenya. Menurut positifisme, yang
ada adalah tampak, segala gejala di tolak. Beda empirisme dangan positifisme
adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positifisme hanya membatasi
diri pada pengalaman objektif, sementara empirisme menerima pengalaman
subjektif (batiniah) (Harun, 1990: 109-110).