Minggu, 05 Maret 2017

Untitled~

Untitled

Ingatkan diriku, dikala langkahku berpijak pada tanah yang tandus, agar kau tak dapatiku melihat bunga bunga itu tak bermekaran.
Ingatkan diriku dikala tanganku menyentuh pada benda yang tajam, agar kau tak dapatiku meraba kapas dengan noda merah.
Ingatkan diriku dikala ucapanku merobek dinding dinding  keimanan, agar kau tak dapatiku sendiri menanggung dosa.
Aku hanyalah seorang perempuan yang belum banyak tahu menahu tentang kebaikan, keindahan, atau kebahagiaan yang haqiqi.  Dan aku hanyalah seorang perempuan yang tak pernah tahu sebesar apa ancaman dunia luar itu. Aku belum banyak tahu tentang apapun.  Tuntunlah diriku pada hal hal yang baik saja, karena aku ingin banyak tahu tentang keindahan yang haqiqi.  Agar keindahan itu tak kau kecap sendiri.

Tak jua aku fikirkan, sekokoh apa pertahanan yang kau buat selama ini. Untuk menghadapi apa yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Membuat benteng benteng kuat, agar tetap tegap berdiri tanpa rapuh sedikitpun. Jika nanti kau dapatkan banyak rintangan, ombak yang menghantam, angin yang terus bergemuruh, kau akan kuat bertahan tanpa jatuh sedikitpun.

Semua itu kan menjadikan urat nadi dalam diriku, berdenyut tenang penuh kedamaian.

Arasi-

Mengapa Semua Rayon di Gontor Terdiri dari Empat Kamar/lebih?


Mengapa Semua Rayon di Gontor Terdiri dari Empat Kamar/lebih?

          Seperti yang kita ketahui, bahwasannya semua rayon yang ada di Pondok Modern Darusalam Gontor berjumlah empat kamar atau lebih,dan tidak mungkin kurang dari empat kamar.
          Menurut K.H Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, filosofi dari adanya minimal empat kamar di setiap rayon adalah, agar santriwati di Darussalam dapat menumbuhkan mentalitas juara yang tinggi.Dengan adanya minimal empat kamar di setiap rayon,maka secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa persaingan di dalam jiwa santriwati,baik secara kelompok maupun individu.
          Dari segi individu misalnya, santriwati secara tidak langsung akan berlomba – lomba dalam menjaga kerapian lemari pakaiannya dan akan merasa malu jika lemari pakaiannya terlihat berantakan.Dari segi individu lainnya adalah dalam hal kesegeraan, baik dalam kesegeraan ke masjid,muhadhoroh ,pramuka ,pelajaran sore dan lain sebagainya.
          Dari segi kelompok, misalnya dalam lomba keindahan dan kebersihan anatar kamar.Dalam kegiatan ini,secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa persaingan antar kelompok dalam hal positif. Dari rasa persaingan inilah akan timbul usaha dan kerjasama yang baik agar bisa menjadi juara.Dalam persaingan antar kelompok,kemenangan tidak bisa dicapai tanpa adanya kekompakan dan kerjasama yang baik dari masing – masing individu dalam kelompok.

          Beginilah cara Gontor mendidik santriwatinya.Dengan menanamkan jiwa mentalitas pada diri setiap santriwatinya, yang tidak lepas dari nilai – nilai keislaman, pendidikan dan nilai – nilai Gontori.Karena, semua yang kita lihat , kita dengar dan kita rasakan adalah pendidikan.

Sudahkah Hartaku Disucikan?

Sudahkah Hartaku Disucikan?
Rabu, 28 Desember 2016
ZAKAT. Rukun Islam ketiga yang terkadang manusia buta atau melalaikannya karena terlanjur silau dengan apa yang dimiliki. Mengigatkan kembali akan pentingnya zakat. Zakat adalah kewajiban kita. Harta yang kita keluarkan untuk berzakat memanglah bukan hak kita. Karena dari setiap apa yang diusahakan Allah ingin berlaku adil kepada hambanya yang fakir dan miskin, dengan memberikan porsi yang terselip di harta yang kita dapatkan atas dasar kerja keras. Banyak umat Islam yang hanya melek dengan zakat fitrah dan buta atau mungkin berpura-pura menjadikan zakat harta lain yang dimilikiya terluput dari ingatan. Ingat bukan hanya harta kita yang berbentuk uang yang harus dizakatkan! Melainkan harta berwujud lain seperti zakat hewan ternak, hasil pertanian, emas, perak, uang dan barang dagangan harus dizakatkan jika telah memenuhi nasob dan haulnya. Kenapa harus zakat? Bukankah dengan peluh harta itu didapatkan? Hati-hati. Kita patut waspada terhadap hak orang lain yang ada diharta kita. Karena bisa jadi akan menjadi boomerang untuk kita.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103).
ZAKAT. Setuhannya begitu dahsyat. Memberikan manfaat bagi mustahiq maupun muzakki-nya. Karena tidak mungkin Yang Maha Mengetahui itu mensyariatkan sebuah kesia-siaan. Diantaranya; Membersihkan harta, terutama zakat fitrah yang menyempurnakan pahala orang yang berpuasa dari dan berbagai perbuatan sia-sia dan kesalahan; Zakat menghindarkan diri dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka; Mencegah terjadinya penumpukan dan penimbunan harta pada sekelompok orang. Harta yang wajib dizakati adalah harta yang harus terus bergerak. Ketika harta itu tidak mengalami pergerakan dan penimbunan akan memiliki efek sosial yang besar. Emas atau uang yang disimpan tidak akan menggerakkan roda ekonomi. Sedangkan fungsi utama emas atau uang adalah sebagai alat tukar yang menjadikan harta terus bergerak.Tak jarang banyak tindak criminal yang terpicu dari hal itu. Para saudagar kaya yang hidup ditengah para tetangganya yang merintih kelaparan, acuh tanpa sadar bhwa sesungguhnya ada sekelumit harta yang harus dizakatkan.  Inilah manfaat zakar fitrah yang tidak banyak orang sadari; Dengan zakat kita membangun pilar amal bersama dan menjadi salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam.
Tapi apa yang terjadi jika harta tidak dizakatkan? Diketahui, Hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang berbunyi :”Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah). Naudzubillahi min dzalik.

Kultum 16

PEMBAHASAN KONSEP ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT



PEMBAHASAN KONSEP ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
A.  Pengertian Ilmu
            Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm yang bermakna pengetahuan merupakan derivasi dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui. Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu ma’rifah (pengetahuan), syu’ur (kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm dan fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘aql (intelektual), dirayah dan riwayah ( perkenalan, pengetahuan dan narasi ), hikmah (kearifan), ‘alamah (lambang), tanda atau indikasi yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal. Dalam menjelaskan ilmu secara termilogi, Al-Attas menggunakan 2 definisi, pertama ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT., bisa dikatakan bahwa ilmu datangnya (husul) makna sesuatu atau objek ilmu kedalam jiwa pencari ilmu, dan kedua sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu dapat diartikan sebagai datangnya jiwa (wusul) pada makna sesuatu atau objek ilmu.[1]
Hal ini berimplikasi bahwa ilmu mencakup semua hal. Selanjutnya Al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang satu pihak memerlukan mental yang aktif dan mental spiritual di pihak mencari ilmu, dan di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual. Al-Attas membagi ilmu dalam 2 bagian, yang pertama iluminasi, yaitu ilmu (ma’rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa melayu, yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan. Dalam pembahasan ini ilmu pengetahuan ilmu jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan kategori kedua berkaitan dengan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai dengan penggunaan daya intelektual dan jasmani.
Dari pembagian diatas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hamya meliputi ilmu-ilmu aqidah dan syari’ah saja.Selain kedua ilmu tersebut kita masih berkewajiban menuntut ilmu yang lainnya.
A.  Objek Ilmu
Dalam islam terdapat 2 alam yang disebutkan dalam Al-Quran, yaitu alam non fisik (‘alam al-ghayb) dan alam fisik (‘alam syahadah) atau yang tampak. Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan, para filsuf Muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui keberadaan objek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik. Berbeda dengan para filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Meskipun Al-Qur’an menyebutkan perbedaan antara alam fisik dan non fisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.[2]
Karena tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam metafisik. Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung, namun harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-‘Alaq ayat 96 : “Bahwa Dia (Allah SWT) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia saja. Namun, ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu dalam Islam tidak hanya bisa diverifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui eksperimen atau logika semata. Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat, pakar dan orang bijaksana, khususnya para ahli sufi dapat diterima seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazim, Imam Al-Ghozali dan Al-Suyuti. Al-Attas juga mengakui kebenaran klasifikasi ilmu yang mereka berikan.[3]
Pada hakikatnya terdapat kesatuan di balik hierarki semua ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim. Ilmu dapat dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang ditempuh mereka untuk memperolehnya dan pengkategorian tertentu itu melambangkan usaha manusia untuk melakukan keadilan terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.[4]
B.  Sumber Ilmu Menurut Islam
Islam mengajarkan bahwa Allah SWT merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaan Nya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang ghaib dan tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengawasan Nya.
إنما إلهكم الله الذي لا إله إلا هو و سع كل شيء علما
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Ilmu Nya meliputi segala sesuatu ” ( Thaha : 98 )
            Sumber ilmu yang primer dalam epistimologi Islam adalah wahyu yang diterima oleh Nabi yang berasal dari Allah SWT sebagai sumber dari segala sesuatu. Al Wahyu atau wahyu merupakan masdhar yang memberikan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Pengertian wahyu secara epistimologi meliputi ilham sebagai bawaan dasar manusia, ilham berupa naluri pada binatang, isyarat yang cepat menurut rumus dan kode, serta apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Namun, makna wahyu sebagai istilah adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al muha yang berarti ‘yang diwahyukan’.[5]
            Oleh karena itu, penjelasan tentang sumber ilmu dalam epistimologi Islam ditekankan kepada : Pertama kalam Allah berupa kitab suci Al-Qur’an. Kedua, Nabi atau Rasulullah sebagai penerima wahyu ,dalam hal ini merujuk kepada hadits, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hokum atau ketentuan Allah yang disyariatkan Allah untuk manusia.[6]
D. Sumber Ilmu Menurut Barat
Sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas)  yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.[7]
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini  berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup.  
 Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi.
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi  terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[8]
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai nilai etika moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.[9]
E. Ilmu Dalam Prespektif  Islam
Pembahasan tentang filsafat ilmu dalam Islam akan bermanfaat jika pemahaman tentang kedudukan, tujuan dan sifat ilmu dalam Islam itu diterima. Filsafat ilmu Barat yan sekular yang bertumpu pada akal semata dan menolak “wahyu” sebagai sumber ilmu telah membawa bencana besar bagi umat manusia. Filsafat ilmu sekular inilah yang memicu kekacauan besar dalam dunia keilmuan dan kamanusiaan saai ini.
Ilmu pengetahuan yang disebarkan barat itu menurut Al-Attas, pada hakikatnya telah menjadi problematika karena kehilangan tujuan yang benar, dan lebih menimbulkan kekacauan dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan. Pengetahuan yang seolah olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme.
Bahkan pengetahuan yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kekacauan dalam ”The three kingdom of nature” yaitu dunia binatang, tumbuhan dan mineral. Menurut Al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.
Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan dimanusiakan.  Umat islam sejak awal mengakui dua jenis keilmuan sekaligus, ilmu agama dan ilmu alam. Kedua jenis ilmu itu dikategorikan sebagai pengetahuan yang ilmiah, dan dikembangkan melalui metode yang ilmiah pula. Hal ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Barat. Dimana pengetahuandibagi kedalamdua istilah teknis, yaitu sience dan knowledge.
 Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang bidang ilmu non fisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjamahakan dalam bahasa Indonesia dengan Ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmi (ilmiah). [10]
World view Islam yang berorientasi pada kehidupan akhirat melahirkan ilmu ilmu yang menyatu dengan amal. Inilah salah satu keistimewaan konsep ilmu dalam islam. Dalam konsepsi Islam, orang pintar yang jahat tidak dihargai sebagai manusia yang baik, bahkan bisa dijauhi masyarakat, jika dia sampai derajat fasik. Dalam buku budaya Ilmu Prof Wan Mohd Nor menjelaskan karakteristik perbedaan antara budaya ilmu dalam islam dengan budaya ilmu di Barat.
Dampak keilmuan Islam yang menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu adalah munculnya tradisi ilmuyang tidak memisahkan antara aspek ilmu dan akhlak. Seorang yang berilmu menurut Islam wajib mengamalkan ilmunya.[11]
Dunia keilmuan Islam dikenal menjujung tinggi akhlak dan moralitas seseorang yang didapati bermoral jahat tidak dipercaya lagi periwayatannya. Ini tentu sangat berbeda dengan konsep keilmuan Barat. Paul Johnson, dalam bukunya “Intellectuals”memaparkan kebejatan moral sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia Internasioan saat ini, dicatatnya “Manusia gila yang manarik” yaitu pada tahun 1728 saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi katolik. Ernest Hemingway seorang ilmuwan jenius tidak memiliki agama yang jelas, selama hidupnya dia hanya sembahyang selama dua kali ketika perkawinan dan pembatisan anaknya untuk menyenangkan hati istrinya, dia menanggap ”Organized religion” sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia.
Ilmuwan Barat sekuler yang membawa pengaruh luas dalam dunai ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin. Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species dimana dinyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan.[12]                                                                                        
F. Ilmu Dalam Prespektif Barat
Filsafat pada zaman pre-Socratic tidak memberikan perhatian yang fundamental kepada cabang filsafat epistemologi, namun lebih tertarik pada filsafat alam dan kemungkinan perubahanya. Mereka menerima begitu saja bahwa pengetahuan tentang alam adalah mungkin, meskipun beberapa dari mereka menyarankan bahwa pengetahuan dari struktur realitas (structure of reality) diperoleh dari beberapa sumber dapat lebih baik dari sumber yang lainnya. Namun beberapa ahli berbeda pendapat dengan mereka yang menyatakan bahwa epistimologi dimulai dari keraguan kaum Sofis terhadap ilmu pengetahuan.
Menurut mereka, Plato adalah filsuf Yunani yang bisa dikatakan menjadi pencetus nyata epistimologi, karena berusaha untuk berurusan dengan pernyataan-pernyataan dasar seperti. Plato beranggapan bahwa pengetahuan merupakan kondisi kognisi yang paling tinggi dan lebih dari kepercayaan yang benar. Menurutnya, pengetahuan lebih berharga walaupun pengetahuan susah untuk dicapai dan manusia kurang akan pengetahuan, pengetahuan tetap dapat dicapai karena kita semua harus dan cenderung untuk bergantung kepada kepercayaan kepercayaan yang benar.[13] Sehingga menurut plato, yangdisebut sebagai pengetahuan adalah kumpulan ingatan atau engenalan ide abadi yang terpendam dalam benak manusia.
Aristoteles merupakan murid dari Plato, ia hanya bersebrangan dengan ajaran gurunya mengenai perpisahan absolut antara ide dan gambaranya, antara pengertian dan pemandangan, antara “ada” dan “menjadi”. Idea dalam pemahaman Plato terlalu abstrak, sedangkan Aristoteles mengganggap idea atau eidos sebagai sesuatu yang lebih konkret.[14] oleh sebab itu, logika yang utama menurut Aristoteles adalah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus. Ilmu harus mampu menerangkan bagaimana datangnya hal hal yang khusus dan kelihatan itu dari yang umum dan diketahui melalui pemikiran.
Ilmu Barat modern todak dibangun diatas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia makhluk rasional.
Sekularisasi ilmu ini dimulai ketika seorang filsuf Barst, Rene Descartes yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini descartes telah menjadikan satu satu menjawab keraguan ilmu mnya kriteria untuk mengukurkebeneran. Penekanan terhadap rasio dan pancaindrsebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filsuf lain seperti Thomas Habes .
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh, Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuanyang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kabt, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancaindera. dalam pandangannya Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan pernyataan sintetik a priori seperti yang ada di dalam matemtaika, fisika dan ilmu ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menanamkan metafisika sebagai ilusi transendent.
Epistimologi Barat modern-sekuler semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel yang terpengaruh oleh Kant, Bagi Hegel, pengetahuan adalah ongoing process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang, tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan berarti tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas.
Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.[15]
Epistimologi barat modern-sekuler juga melahirkan paham ateisme. Akibatnya, paham ateisme menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain lain.
Selain melahirkan ateisme, epistimologi Barat modern-sekuler telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekuler. Pandangan hidup kristiani telah mengalami pergeseran paradigma. Selain itu, jika pada zaman pertengahan agama kristen adalah agama sentral dalam peradaban barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran pada zaman modern.
Ilmu yang berkembang didunia barat saat ini berdasarkan pada rasio dan pancaindera, jauh dari wahyu dan tuntunan ilahi. Meskipun telah menghasilkan teknologi yang bermanfaat bagi manusia. Ilmu Barat modern telah pula melahirkan bencana, baik kepada kemanusiaan, alam maupun etika. Akibat paham materialisme maka terjadi penjajahan dan kolonalisasi. Peradaban Barat sebagaimana ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis. Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat berbagai kemudahan fasilitas hidup. Akan tetapi, pada sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi yang tidak kecil kepada penghancuran alam semesta.
Karakteristik sains menurut mereka adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hypotetico-verificative. Metode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berfikir yang logis dan masuk akal. Dan bukan melalui aturan kepercayaan dan keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis. Dari hepotesis itulah kemudian ilmu pengetahauan harus dapat membuktikannya secara empiris.
Dengan demikian, menurut Ilmuwan Barat empirisme dalam sains semakin mengarah pada ide netralitas sains. Teori dan methode ilmiah dibangun dengan suatu pandangan bahwa sains itu empiris, objektif dan logis sehingga dengan begitu bersifat netral. Ilmu yang didalam peradaban barat sekuler diklaim sebagai bebas nilai, sebenarnya tidak benar benar bebas nilai, tetapi hanya bebas dari nilai nilai keagamaan dan ketuhanan. Paham keilmuan sekularistik inilah sebenarnya yang sedang melanda pemikiran muslim saat ibni. Paham ini, sudah tentu dapat menghambat dan menyelewengkan pembangunan peradaban Islam.
Peradaban Barat muncul didukung oleh ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada aspek rasio semata. Bermulai dari seorang filsuf Barat bernama Rene Descartes yang bergelar Bapak Filsafat Modern mengemukakakan sebuah pameo yang terkenal sampai saat ini yaitu “Aku berfikir maka aku ada”. Mereka menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.                                         
Dalam pandangan Islam, ilmu, itu tidak bebas nilai. Sedangkan sains Barat atau sains modern yang saat ini berkembang didunia Barat maupun didunia Islam menyatakan bahwa sains itu netral  atau bebas nilai. Pada kenyataannya ilmu tidak bisa bebas nilai karena ilmu dari waktu ke waktu mengalami naturalisasi.[16]
G. Metode Memperoleh Ilmu Dalam Islam   
            Amin Abdulllah (1992:7) dalam mencarai epistimologi Islam lebih melihat adanya kecenderungan para pemikir yang idealis dan rasionalis, sebagaimana yang ia kaji dalam pemikiran As-Sardar dan Ghulsyani. Berpadunya kajian metafiska dan episimologi dalam Islam yang ideal holistik kelemahanya menurut Amin kurang tajam dalam melakukan kajian dalam segi-segi khusus, karena dominasi kalam dan sufisme terlalu kuat sehingga epistimologi tidak bisa berkembang secara alami. Platonisme yang rasionalistik-ormatif seperti yang nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, daripada empirisme-historis Aristoteles.
Namun disini Islam tidak berkabung hanya pada rasionalisme dan empirisme, tapi juga mengakui instuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas kebenaran langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, khasaf yang tanpa deduksi, spekulasi dan obserfasi. Pengetahuan ini salam mistisisme Islam disebut dengan ilm al-dhurury atau ‘ilm al-Laduny yang kedudukanya sedikit di bawah wahyu. Sedangkan rasionalistik adalah pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran secara rasio atau akal. Sedangkan empirisme dalah pengetahuan yang bersumber dari penelitian tehadap objek (fakta). Wahyu adalah pengetahuan yang diberikan kepada seluruh manusia yang disampaikan melalui Nabi, pengetahuan wahyu ini dapat diperoleh dengan menggunakan keimanan, seperti halnya penggetahuan mengenai adannya malaikat, surga, neraka, hisab kubur dl. Pengetauan ini hanya mustahil akan diperoleh tanpa adanya keimanan.[17]

H. Metode Memperoleh Ilmu Menurut Ilmuwan Barat.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok epistimologi, yaitu rasionalisme dan  empirisme, yang pada giliranya kemudian muncul beberapa isme lain, mislnya: rasinalisme kritis (kritisisme), (fenomenelisme), intuisionisme, positifismemdan seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indra dinomerduakan. Pemikiran para filsuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indra.dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme atau spiritualisme; dan dari indra lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar dan ontologik rasionalisme.
Selain metode rasionalisme adalah metode empirisme yang bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan di uji. Kebenaran didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda ditarik kesimpulan. Menuru Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah yang kedudukannya saling menjalin. Empirisme Locke dikembangkan oleh Comte, orang filsuf berkebangsaan Perancis dengan teori positifismenya. Menurut positifisme, yang ada adalah tampak, segala gejala di tolak. Beda empirisme dangan positifisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positifisme hanya membatasi diri pada pengalaman objektif, sementara empirisme menerima pengalaman subjektif (batiniah) (Harun, 1990: 109-110).[18]






[1] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Washit , (Istanbul: Dar al-Da’wah, 1990) hal.624

[2] Adian Husaini, Filsafat Ilmu Prespektif  Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,2013), hal.88-89
[3] Ibid,.p. 90
[4] Syed Muhamad Naquib  Al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya : ABIM, 1980), 44
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2001) hal. 37-38
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta : Rajawali Press, 2011) hal.4
[7] Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) hal, 45
[8] Ibid 53
[9]Dedi Supriyadi, M.Ag,”Pengantar Filsafat Islam” (Bandung,CV.Pustaka Setia, Cet-I, 2013), Hal.15
[10] Adian Husaini, Filsafat... Op.cit,.p.33
[11] Ibid,.p.46
[12] Ibid,.p.47
[13] Ibid,.p.7
[14] Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Cet-III (Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia,1983) hal.123
[15] Dikutip dari Franz Magnis-Suseno,”Pemikiran Karl Max: Dari Sosialisme Utopis ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001) hal,56

[16] Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, Jurnal Halimah”Konsep Ilmu dalam Islam” Vol.13,N 2 September  (Ponorogo: Darussalam Press, 2015)
[17] Dr, H.A Khudori Soleh, M.Ag., Filsafat Islam (dari klasik hingga kontemporer) ( Jogjakarta; AR-RUZZ MEDIA,2013) hal.293
[18]Ibid,.p300